Kerusuhan Situbondo

(Pelajari cara dan kapan saatnya untuk menghapus pesan templat ini)

Pada tanggal 10 Oktober 1996, terjadi kerusuhan anti-Kristen dan anti-orang keturunan Tionghoa di Kabupaten Situbondo, Jawa Timur. Peristiwa itu mulai karena massa tidak puas dengan hukuman penjara lima tahun untuk terdakwa Saleh, (yang beragama Islam) yaitu tuntutan maksimal yang dapat dijatuhkan atas kasus penghinaan terhadap agama Islam. Oleh karena ketidakpuasan tersebut serta kesalahpahamannya bahwa Saleh disembunyikan di dalam gereja, massa mulai merusak dan membakar gereja-gereja di Kabupaten Situbondo. Pada akhirnya, 24 gereja di lima kecamatan dibakar atau dirusak, serta beberapa sekolah Kristen dan Katolik, satu panti asuhan Kristen, dan toko-toko yang milik orang keturunan Tionghoa. Dalam kerusuhan tersebut, lima orang keluarga pendeta Ischak Christian tewas terpanggang api di dalam komplek Gereja Pantekosta Pusat Surabaya (GPPS) yang terletak di Jl. Basuki Rachmat Situbondo. Diduga peristiwa ini direkayasa untuk mendiskreditkan Nahdlatul Ulama dan pemimpinnya pada saat itu, Abdurrahman Wahid.[1]

Kronologi

GBI (Gereja Bethel Indonesia) Bukit Sion

Kronologi peristiwa sebelum 10 Oktober 1996[2]

12 September 1996

Sidang pengadilan Saleh, 28 tahun, yang dianggap menghina agama dan melanggar pasal 156 (a) KUHP dimulai di PN Situbondo. Saleh dilaporkan oleh KH Achmad Zaini, pimpinan pondok Nurul Hikam yang juga tetangga Saleh di Kecamatan Kapongan, Situbondo. Kepada KH Zaini, Saleh menyatakan Allah itu makhluk biasa dan KH As’ad Syamsul Arifin, pendiri Pondok Pesantren Salafiyah As’syafiiyah, Situbondo, dan ulama NU yang amat dihormati, meninggalnya tidak sempurna, atau dalam bahasa Madura disebut mate takacer.

3 Oktober 1996

Dalam sidang keempat kasus ini, Saleh membantah tuduhan menodai agama Islam. “Saya datang hanya untuk musyawarah dan saya ingin tahu tanggapan Kyai Zaini apakah pendapat saya betul atau tidak," kata lulusan SMAN II Situbondo ini. Massa yang antara lain datang dari Besuki, Panarukan, dan Asembagus yang mencapai 1000 orang itu marah.

Seusai sidang, teriakan “Bunuh Saleh” pun terdengar. Massa berusaha mengeroyok Saleh, tetapi diamankan puluhan petugas dengan memasukkannya dalam tahanan PN Situbondo. Massa yang sudah kalap kemudian merusak pintu dan jendela tahanan. Sekitar 10 orang membongkar genteng, menjebol plafon, dan berhasil menghajar Saleh dalam selnya. Tindakan ini bisa dihentikan dengan bantuan Ny. Aisyah, putri Kyai As’ad. Tapi, massa yang ada di luar tahanan, tak mau beranjak. Mereka menuntut Saleh dihukum mati dan merekalah yang akan mengeksekusinya. Teriakan Kapolres Situbondo Letkol Endro Agung sudah tak didengar. Baru setelah Ny. Aisyah berteriak-teriak lewat megaphone mengajak pulang dalam bahasa Madura, massa pun bubar. Saleh diantar ke rutan dalam satu mobil bersama Ny.Aisyah.

10 Oktober 1996

Sidang Saleh yang dijaga oleh 100 orang aparat dari Kodim sudah sampai pada tuntutan jaksa. Ribuan pengunjung dari luar kota hadir. Mayoritas adalah Madura pendatang. Selama sidang, massa tetap tenang. Jaksa menuntut Saleh hukuman 5 tahun penjara sesuai pasal 156 A KUHP tentang penodaan agama.

Tindakan brutal baru terjadi seusai sidang. Sebagian massa yang tak puas dengan tuntutan jaksa dan ingin Saleh dihukum mati, mulai melempari gedung pengadilan dengan batu. Suasana jadi kacau. Seorang petugas Kodim terkena lemparan batu. Teriakan peringatan Komandan Kodim Letkol Imam Prawoto tidak digubris. Batu-batu terus berjatuhan setelah ada aparat yang membalas aksi massa ini. Karena terdesak, aparat masuk ke dalam gedung. Massa yang sudah kalap terus merangsek. Aparat dan para hakim, termasuk Erman Tanri, ketua PN Situbondo yang keningnya luka kena lemparan batu, melarikan diri lewat sungai di belakang gedung PN. Saleh pun diselamatkan ke arah belakang.

Entah siapa yang menyulut, ada massa yang berteriak bahwa Saleh dilarikan ke Gereja Bukit Sion yang terletak sekitar 200 meter sebelah barat gedung PN. Isu bahwa hakim yang mengadili ada yang Kristen pun merebak. Padahal 3 hakim dan jaksa yang mengadili Saleh semua beragam Islam. Massa yang marah kemudian membakar 3 mobil di depan gedung PN milik kejaksaan dan anggota Polres serta sebuah sepeda motor. Pesawat televisi pun dibakar. Akhirnya, gedung PN pun membara. Massa pun bergerak ke Gereja Bukit Sion. Berbekal bensin dari pom bensin di depan gereja dan dari kendaraan-kendaraan bermotor yang dihentikan, mereka membakar gereja.

Ribuan massa yang puas dengan aksinya ini pun lalu mencari sasaran lainnya. Gereja GPIB (Gereja Protestan Indonesia Barat) yang terletak di sebelah Polres semula akan jadi sasaran berikutnya, tetapi pembakaran gagal karena dicegah oleh petugas anti huru-hara. Hanya pagar dan papan nama gereja saja yang sempat dirusak.

Karena diblokir, massa lalu bergerak ke Jalan WR Supratman. Mereka membakar bangunan SD dan SMP Katholik dan Gereja Maria Bintang Samudra. Gereja Kristen Jawi Wetan (GKJW) dan gedung TK/SD/SMP Kristen Imanuel jadi sasaran berikutnya.

Massa bergerak lagi ke arah timur. Gereja Pantekosta dan Gereja Bethel Injil Sepenuh (GBIS) di Jalan A.Yani jadi sasaran berikutnya. Tak hanya gereja dan bangunan sekolah Kristen saja yang diincar, rumah makan Malang dan pertokoan Tanjungsari pun tak luput dari perusakan.

Malapetaka terjadi pada sasaran berikutnya, yaitu rumah pendeta dan Gereja Pantekosta Pusat Surabaya (GPPS) “Bahtera Kasih”. Di dalam rumah itu tinggal pendeta Ishak Kristian, 71 tahun, isterinya Ribka Lena, 68 tahun, dan anaknya Elisabeth Kristian, 23 tahun. Juga keponakannya Nova Samuel dan Rita Karyawati yang sedang magang pendeta di sana. Mereka tak berani keluar dan akhirnya terbakar di dalam rumah.

Setelah membakar gereja, sebagian massa naik 3 truk ke arah timur. Diduga menuju Asembagus. Lainnya menyebar ke Jalan Argopuro dan membakar salah satu rumah pendeta yang juga dijadikan gereja. Massa masih bergerak menuju pertokoan Mimba’an Baru di depan terminal Situbondo. Selain rumah biliar, mereka juga merusak gedung bioskop.

Ketika merusak pertokoan inilah, satu kompi senapan Yonif 514 datang. Petugas yang langsung memukuli dan mengangkut orang yang dianggap sebagai biang kerusuhan membuat massa lari tunggang langgang. Sebagian lari ke Gang Karisma dan masih sempat-sempatnya membakar rumah anak yatim di bawah asuhan Yayasan Buah Hati. Sebagian massa lainnya lari ke Jalan Jakas Agung Suprapto dan di sana membakar TK Santa Theresia dan sebuah susteran. Tragedi Situbondo ini baru benar-benar berhenti pada pukul 15.00.

Namun, aksi massa menjalar ke daerah sekitarnya. Di Asembagus dan Besuki, yang jaraknya lebih dari 30 kilometer ke arah timur Situbondo, mereka membakar 3 gereja, sedang di Kecamatan Banyuputih ada 6 gereja dan sebuah rumah pendeta yang dibumi hanguskan. Massa juga bergerak ke arah barat. Sejak pukul 15.00 sampai magrib, massa beraksi di Panarukan -6 kilometer dari Situbondo- dan membakar 2 gereja. Dari sana, mereka bergerak ke Besuki yang jaraknya hampir 30 kilometer dari Situbondo dan membakar 2 gereja, sebuah klenteng, serta merusak sebuah toko di alun-alun. Aksi bakar hangus ini baru benar-benar reda pada pukul 23.00.

Aparat keamanan dari lokasi seputar kerusuhan baru berdatangan ke Situbondo menjelang magrib. Malam itu juga 120 orang ditangkap dan diseleksi menjadi 46 orang. Dari jumlah sekian, 11 diantaranya pelajar dari STM, SMA, dan SMEA Ibrahimi.

Malam itu diadakan pertemuan antara Kasdam Brawijaya Brigjen Muchdi, Kapolwil Besuki, Danrem Malang, Muspida Situbondo, dan para ulama. Kasdam meminta ulama untuk menenangkan suasana. Pertemuan serupa diadakan oleh Pangdam Imam Oetomo esok harinya.

Situbondo

Kronologi peristiwa tanggal Kamis 10 Oktober 1996[3]

Pembakaran dilakukan massa yang sudah menyebar di gereja-gereja tadi. Pada waktu bersamaan massa dari Pengadilan Negeri/GBI bergelombang di jalan raya. Massa dipecah menjadi 2 kelompok besar, kelompok yang satu bergerak terus ke arah Jl. A Yani, yang satu ke arah Jl.WR Supratman- Jl.Anggrek. Tak cukup hanya pejalan kaki, gelombang massa naik truk dan sepeda motor juga tampak. GPIB (Gereja Protestan Indonesia Barat), Jl panglima Sudirman, hendak dibakar. Namun dilarang aparat Polres yang bersebelahan gedungnya dengan GPIB. Mereka pun hanya menghancurkan barang-barang, mengeluarkan perabot perabot gereja termasuk Alkitab dan membakarnya beramai-ramai di jalan raya.
Mereka menghancurkan Gereja-gereja yang sudah dibakar GKJW (Gereja Kristen Jawi Wetan), Gereja Katolik hingga tak beratap, SDK Franciscus Xaverius, SMP Katolik. TK, SD, SMP Imanuel Kristen di Jl.Anggrek juga tak beratap lagi, hancur lebur semua di dalamnya.
GPDI (Gereja Pantekosta Di Indonesia) yang ditemui di Jalan Ahmad Yani juga tak luput dari rangsekan massa, semua kaca nako dipecah, parabola dibongkar, dapur, ruang makan di belakang gereja hancur, bangku-bangku remuk lebur. GBIS (Gereja Bethel Injil Sepenuh) juga di Jalan Ahmad Yani pun tak berbeda, bahkan instalasi listrik juga dibongkar. Atap roboh dimakan api, tembok-tembok dilobangi, kayu dan bebatuan berserakan di tanah. Gereja Sidang Jemaat Pantekosta (GSJP) di Jalan Argopuro bernasib sama.
Di GPPS (Gereja Pantekosta Pusat Surabaya) Jalan Basuki Rahmad lebih tragis. Lautan massa yang mengepung setiap gereja yang ditemui, di sini pun mengepung GPPS. Pada saat itu di GPPS yang menjadi satu dengan Paroki (Rumah Kependetaan) ada tujuh orang: Pendeta Ishak Kristian (70 th), Ny. Ribka Lena Kristian (istri, 67 th), Elizabeth Kristian (Anak putri yang mau menikah bulan Desember, 24 th), Rita (pekerja Gereja, 20 th) dan Nova Samuel (Keponakan, 15 th), Didit (Yohanes) dan Andi (Andreas). Terjebak di kobaran api, mereka tak bisa keluar dari Gereja/Rumah Paroki karena massa mengepung dengan ganas berlinggis, kayu, martil. Didit dan Andi berhasil lolos sedang lima yang lain tewas terpanggang. Pendeta Ishak terpanggang di kamar tidur, Nova di kamar mandi dalam kamar tidur, tiga yang lain terpanggang di dapur. Didit dan Andi lolos dengan memanjat genteng, Andi jatuh dari loteng/tangga hingga kakinya luka dan Didit luka di tangan.

Di sekitar Situbondo

Di Asembagus (30 Km Timur Situbondo)

Di Desa Ranurejo Kecamatan Banyuputih (8 Km + masuk 2 Km =10 Km dari Asembagus)

Di Wonorejo (kurang lebih 26 km dari Ranurejo, daerah pantai pelosok)

Di Panarukan (Situbondo ke barat 6 Km)

Di Besuki (20 Km dari Situbondo)

Kerusakan dan korban:

Referensi

  1. ^ Usaha Mendiskreditkan NU dan PPP
  2. ^ Insiden Pembakaran di Situbondo
  3. ^ http://noes.tripod.com/hancur.html

Daftar pustaka

  • l
  • b
  • s
Sejarah konflik di Indonesia
Konflik politik
Konflik sosial
Konflik sumber daya alam
Kejahatan kemanusiaan
Terorisme
  • Templat:Terorisme di Indonesia
  • l
  • b
  • s
Bencana alam, kecelakaan, dan kerusuhan di Indonesia tahun 1990–1999
Bencana alam
Banjir & longsor
Gempa bumi
Kecelakaan
Kereta api
Pesawat terbang
Kerusuhan
Lain-lain
◀ 1980-an 2000-an ▶